Kelak pada saatnya kita dihadapkan pada sebuah pilihan dikuasai atau
menguasai. Kedua term sebenarnya saling bergantung dan saling
berinteraksi. Keduanya bermain dalam oposisi biner , yang mana saling
mempengaruhi dan dipengaruhi. Dalam kehidupan ini kita mengenal ilmu dan
teknologi , keduanya ternyata sangat berguna sekali. Hebatnya lagi
sejak menjadi bahan kajian maka tumbuh seiring pula sebuah institusi
untuk mencetak kelas penguasa.
Maka terciptalah sekolah , apapun namanya kurikulum dan sistemnya sama.
Program pendisiplinan individu dengan sistem sel. Dari sini pengetahuan
tentang kuasa diproduksi,direpetisi dan digunakan sebagai alat dan
komoditas oleh kelas penguasa. Maka barang siapa ingin lebur dalam kelas
penguasa maka haruslah masuk sekolah.
Dalam alam pengetahuan orang awam,bahwa gagasan sekolah adalah sebagai
pengentas kebodohan kemiskinan keterbelakangan keterisolasian dan
ketertindasan. Maka muncul kalimat " ora tau mangan sekolah "
,menunjukkan bahwa sekolah adalah sesuatu yang ajaib yang bisa mengubah
nasib manusia. Bagi yang pernah mengalami masa sekolah mungkin juga
berkata lain,bahwa selain mendidik maka sekolah juga gemar menghukum.
Setidaknya menawarkan hal yang demikian bagi pelaku keonaran atau tidak
patuh pada sistem.
Dari sini pengetahuan diolah dan dijadikan baku,bahwa di sekolah antara
kelas penguasa dan yang dikuasai terjadi interaksi atau spionase.
Masing-masing pihak belajar dengan strategi dan pendekatan yang berbeda
guna mencapai tujuan. Terjadi sistem kompromi, maka para pihak di
sekolah kemungkinan akan saling melengkapi atau menutupi suatu realita
bahwa sekolah bukan lembaga yang semata memberikan pengajaran dan
pendidikan melainkan juga ajang mencari bakat untuk regenerasi kelas
penguasa baru.
Transformasi pengetahuan bisa berjalan searah juga spiral mengingat
pengetahuan tidak hanya diolah di sekolah melainkan juga dari jejaring,
baik di dunia nyata maupun maya ( internet ). Maka kuasa pengetahuan
nampak bersifat demokratis dipermukaan. Namun apakah benar hal tersebut?
apa tidak ada hidden agenda dari kelas penguasa?. Jika tujuan mulia
pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa lantas
mengapa secara global yang marak tampil adalah wajah garang korupsi dan
kolusi.
Bisa jadi anggapan masyarakat selain beroleh pengetahuan maka sekolah
juga menawarkan kecurangan. Manipulasi besaran angka dan nilai dianggap
wajar agar tetap dalam lingkaran sistem yang sesat. Inilah yang kemudian
menjadikan pengetahuan tentang kuasa hanya dimaknai sebatas manipulasi
kolusi kecurangan dan korupsi. Sebab pengetahuan awal diproduksi di
sebuah lembaga bernama sekolah.
Perlu dikaji ulang tentang gerakan wajib belajar 12 tahun yang sampai
hari ini hanya dimaknai sebatas sekolah dari jenjang SD-SMA. Mengingat
kuasa pengetahuan juga berlaku diluar tembok sekolah yang angkuh dan
angker dengan segala dominasi kelas penguasa.
sebagai lanjutan politicalzine Buletin Garis yang sebelumnya juga merupakan media informasi foto copyan
Anda Pengunjung ke:
Minggu, 11 Maret 2012
Sabtu, 10 Maret 2012
Bukan Kompetisi Melainkan Kerjasama ( Jember Exegese )
Bu Budi dan Bu Joko dua entitas seragam kaya warna. Bersebelahan
mereka sama-sama membuka usaha warung kopi yang hari ini ribut sejak ada
proses paten. Keduanya memasok minuman dan makanan bagi para pelajar
dan umum di sebuah komplek kantin perguruan tinggi di kota Jember.
Sebagai makhluk ekonomi keduanya terpanggil untuk mengabdikan diri
melayani segolongan pelajar yang kelihatannya " pemikir serius " , saya
kadang tertawa sendiri mengingat masa silam. Akankah pemikiran itu tetap
berlanjut di kantin-kantin.
Masa yang telah lampu membuat saya juga getol untuk sekedar bergiat dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Membahas tema yang hampir seragam tentang lingkaran kemelaratan yang hampir selalu hinggap pada diri ataupun lingkungan. Tak ubahnya pemikir sosialis lainnya dari dimensi makro ke mikro juga sebaliknya.
Namun kita patut bersyukur di ruang publik bernama warung inilah kita bebas mendirikan suatu mimbar dengan audiens terbatas sekaligus menghujat sebuah kebijakan. Barangkali dari sinilah kemudian timbul suatu ide tentang penjajahan. Kita mungkin pernah menjadi pelajar dan memiliki ide atau pandangan menggusur sebuah kemapanan. Akan tetapi sebuah pengetahuan tadi akan berubah melawan segala hal yang berbau gangguan dan disiden.
Sebagai contoh para birokrat pejabat atau siapa saja dilingkaran kekuasaan. Mungkin dulu mereka kritis namun setelah berkuasa ? . Inilah kemudian apa yang disebut dengan kuasa pengetahuan oleh foucoult , bisa juga knowledge is power oleh entah siapa yang mengatakan pertama kali. Dari dimensi ini kemudian kekuasaan dibangun. Entah berdasarkan asas kebaikan bersama atau kebaikan suatu kelompok.
Kembali lagi ke sebuah ruang publik bernama kantin atau kerennya warung. Dari sini proses klasifikasi terbentuk kita mengkotak-kotak diri kita sesuai dengan minat bakat dan kemampuan ( mirip ujian saringan masuk perguruan tinggi ). Bergerombol sekedar membahas sebuah tema atau lebih mulai dari yang hangat sanpai yang basi.
Maka sampailah ke depan pintu gerbang perpisahan karena jam diatur demikian. Ada saat bersua ada saat berpisah. Kembali ke ruang masing-masing sesuai dengan jadwal yang disepakati. Penulis beranjak pergi membayar kopi sembari mengumpat " dasar " , kepala pusing kok yo sempat-sempatnya kumpul karo cah cah yang masih nggak jelas masa depannya. Maksudnya mau dibawa kemana langkah kita . Sambil bersungut-sungut memegang kepala karena sedikit cenat-cenut mikirin sukses nggak ya ?. salam.
Tony Herdianto
Masa yang telah lampu membuat saya juga getol untuk sekedar bergiat dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Membahas tema yang hampir seragam tentang lingkaran kemelaratan yang hampir selalu hinggap pada diri ataupun lingkungan. Tak ubahnya pemikir sosialis lainnya dari dimensi makro ke mikro juga sebaliknya.
Namun kita patut bersyukur di ruang publik bernama warung inilah kita bebas mendirikan suatu mimbar dengan audiens terbatas sekaligus menghujat sebuah kebijakan. Barangkali dari sinilah kemudian timbul suatu ide tentang penjajahan. Kita mungkin pernah menjadi pelajar dan memiliki ide atau pandangan menggusur sebuah kemapanan. Akan tetapi sebuah pengetahuan tadi akan berubah melawan segala hal yang berbau gangguan dan disiden.
Sebagai contoh para birokrat pejabat atau siapa saja dilingkaran kekuasaan. Mungkin dulu mereka kritis namun setelah berkuasa ? . Inilah kemudian apa yang disebut dengan kuasa pengetahuan oleh foucoult , bisa juga knowledge is power oleh entah siapa yang mengatakan pertama kali. Dari dimensi ini kemudian kekuasaan dibangun. Entah berdasarkan asas kebaikan bersama atau kebaikan suatu kelompok.
Kembali lagi ke sebuah ruang publik bernama kantin atau kerennya warung. Dari sini proses klasifikasi terbentuk kita mengkotak-kotak diri kita sesuai dengan minat bakat dan kemampuan ( mirip ujian saringan masuk perguruan tinggi ). Bergerombol sekedar membahas sebuah tema atau lebih mulai dari yang hangat sanpai yang basi.
Maka sampailah ke depan pintu gerbang perpisahan karena jam diatur demikian. Ada saat bersua ada saat berpisah. Kembali ke ruang masing-masing sesuai dengan jadwal yang disepakati. Penulis beranjak pergi membayar kopi sembari mengumpat " dasar " , kepala pusing kok yo sempat-sempatnya kumpul karo cah cah yang masih nggak jelas masa depannya. Maksudnya mau dibawa kemana langkah kita . Sambil bersungut-sungut memegang kepala karena sedikit cenat-cenut mikirin sukses nggak ya ?. salam.
Tony Herdianto
Kamis, 08 Maret 2012
Igauan Malam Jum'at
Selasa, 06 Maret 2012
Refleksi pendidikan dari film Jepang
Sekali waktu saya pernah nonton
film Jepang berjudul Crow Zero, saya tidak begitu paham dan hafal betul
dengan aktor-aktor nya, disamping tidak pernah mengikuti perkembangan
dunia perfilman, juga lantaran bukan hobi saya untuk nonton film, jadi
wajar saja jika saya kurang mengerti tentang artis-artisnya, toh artis
dan selebritis tanah air pun saya juga kurang mengenal.
Yang
menarik dalam film ini adalah gambaran fantasi dari pemilik ide
cerita~yang entah siapa, kabarnya dari sebuah komik seri, digambarkan
suatu lingkup pergaulan pelajar yang serba bebas. Absurd memang (namanya
juga film), sekolah yang prestasi siswanya ditentukan oleh kuatnya
pukulan untuk usahanya masing-masing dalam menguasai lingkungan
pergaulannya. Maka sering terjadi perkelahian dalam lingkungan sekolah
tersebut.
Cerita
berawal dari kehadiran seorang pelajar bernama Takiya Genji di sekolah
Suzuran, anak seorang yakuza yang tertantang untuk menggantikan posisi
ayahnya dalam organisasi dengan menaklukkan Suzuran sebagai sekolah
'keras'. Untuk melakukan penaklukkan tersebut, pelajar inipun harus
menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu mengalahkan satu persatu
penguasa di Suzuran dan yang pertama harus ia kuasai adalah kelasnya
yang baru.
Berhasil
dengan penguasaan kelasnya dengan mengalahkan pemimpin kelas yang dalam
film ini adalah bernama Chuta, pelajar Genji pun mulai melakukan intrik
dan diplomasi terhadap kelas yang lain, termasuk mencoba merekrut
adik-adik kelasnya baik yang kelas satu maupun kelas dua.
Diplomasi
awal berhasil dengan memulai persahabatan dengan pemimpin kelas 'C'
yaitu Makise, tapi dengan kelas berikutnya, kelas 'D' pelajar Genji
menemui kesulitan yang cukup berarti, pelajar Genji harus mati-matian
dikroyok anak kelas 'D' hingga babak belur dan pingsan. Oleh kejadian
ini, Izaki sebagai pemimpin kelas 'D' mulai menaruh simpati terhadap
kegigihan Genji yang pada akhirnya mereka berdamai dan membentuk suatu
koalisi berandal sekolahan yang mereka sebut "GPS".
Kehadiran
kelompok "GPS" yang dimotori tiga raja kecil: Izaki, Makise dan Chuta
yang berada dibawah kepemimpinan Genji cukup menarik perhatian 'sang
raja sekolah' Serizawa bersama rekan-rekannya, Serizawa sendiri
diceritakan memimpin kelas 'A' bersama Tokio, Tokaji dan Tsutsumoto,
semuanya jago kelahi. Sedang kelas 'B' yang dikuasai Mikami bersaudara
berhasil takluk dengan satu pukulan oleh Serizawa diawal cerita.
Terjadilah
persaingan antar kedua kelompok ini, saling serang, berintrik dan
mendominasi lingkungan Suzuran. Ya, hegemoni untuk merekrut pengikut
dari kelas lain juga merupakan medan tempur yang hebat. Dan akhir dari
persaingan ini adalah sebuah pertarungan yang dimenangkan oleh kelompok
Genji.
Pada
bagian kedua film ini tantangan lebih berat lagi, meskipun pada
akhirnya kelompok Genji dan Serizawa berdamai tapi mereka harus
menghadapi kekuatan dari luar lingkungan mereka. Tersebutlah Housen,
sekolah yang juga diisi oleh berandalan yang suka berkelahi, bedanya
jika di Suzuran adalah perkelahian jalanan sedangkan di Housen berisi
pelajar yang gemar olah raga beladiri yang juga identik dengan kepala
'plontos' semacam kelompok 'skin-head' di Inggris tahun 70-an. 'Skin
head' inipun sering dikabarkan suka berkelahi meskipun tidak terdapat
dalam film ini.
Sesaat
saya berpikir "apa ada sekolah macam itu di Jepang sana?" dan langsung
saja saya jawab sendiri "bagaimana mungkin ada yang seperti itu?!",
meskipun Jepang yang terkenal kejamnya saat datang ke tanah air, toh
mereka juga masih punya 'unggah-ungguh' dan sangat disiplin dalam
membangun pendidikan. Tidak akan mungkin ada sekolah semacam itu, saya
yakin pemerintahan disana akan cepat tanggap hingga tidak muncul
gejala-gejala yang mengarah kesana.
Sedang di tanah air, saya pikir mungkin saja. "Bagaimana bisa?", tentunya dengan terus memisahkan pelajar dari kesadarannya sebagai manusia, mengasingkan pelajar dari dirinya sebagai seorang manusia. Maka terbentuklah mental individualis pelajar hingga kesadarannya jatuh pada titik terendah yang menyamakan dirinya dengan hewan, bersaing dengan kekuatan otot tanpa kreatifitas untuk membangun lingkungannya secara sehat.
Tentang keadaan sekolah yang digambarkan dalam film inipun bisa saja muncul di tanah air, ketika guru membatasi perannya hanya sebagai seorang pengajar tidak lagi sekaligus sebagai seorang pendidik, sedangkan pendidikan berkarakter yang sedang gencar didengungkan hingga sampai saat ini hanya menjadi semacam 'kandang singa'~garang di dalam tapi tidak bertaji di luar. Dalam keadaan seperti ini sangat memungkinkan pelajar-pelajar Genji terlahir di Indonesia.
Awalnya mereka takut karena ada ancaman peraturan-peraturan yang terbatas, selanjutnya mereka sudah tidak lagi peduli dengan peraturan tersebut sebab merasa tidak ada pengaruh sama sekali terhadap dirinya. Sama halnya dengan pengendara kendaraan bermotor (yang nakal) dijalanan yang hanya mau tertib jika ada yang mengawasi: polisi. Hal demikian memungkinkan juga untuk memunculkan mentalitas penjilat bukan?.
Tidak ada salahnya Indonesia bercermin dari film negeri seberang ini, meskipun kirannya tidak akan lulus sensor jika ingin ditayangkan. Dan mendidik untuk membentuk karakter adalah sepenuhnya dengan membangun kesadaran, bukan semata dengan ancaman~telah kita sepakati dengan 'diam' bahwa ancaman adalah salah satu bentuk kekerasan dan mendidik dengan 'kekerasan' tidak akan berbuah apa kecuali 'kekerasan' pula.
Sedang di tanah air, saya pikir mungkin saja. "Bagaimana bisa?", tentunya dengan terus memisahkan pelajar dari kesadarannya sebagai manusia, mengasingkan pelajar dari dirinya sebagai seorang manusia. Maka terbentuklah mental individualis pelajar hingga kesadarannya jatuh pada titik terendah yang menyamakan dirinya dengan hewan, bersaing dengan kekuatan otot tanpa kreatifitas untuk membangun lingkungannya secara sehat.
Tentang keadaan sekolah yang digambarkan dalam film inipun bisa saja muncul di tanah air, ketika guru membatasi perannya hanya sebagai seorang pengajar tidak lagi sekaligus sebagai seorang pendidik, sedangkan pendidikan berkarakter yang sedang gencar didengungkan hingga sampai saat ini hanya menjadi semacam 'kandang singa'~garang di dalam tapi tidak bertaji di luar. Dalam keadaan seperti ini sangat memungkinkan pelajar-pelajar Genji terlahir di Indonesia.
Awalnya mereka takut karena ada ancaman peraturan-peraturan yang terbatas, selanjutnya mereka sudah tidak lagi peduli dengan peraturan tersebut sebab merasa tidak ada pengaruh sama sekali terhadap dirinya. Sama halnya dengan pengendara kendaraan bermotor (yang nakal) dijalanan yang hanya mau tertib jika ada yang mengawasi: polisi. Hal demikian memungkinkan juga untuk memunculkan mentalitas penjilat bukan?.
Tidak ada salahnya Indonesia bercermin dari film negeri seberang ini, meskipun kirannya tidak akan lulus sensor jika ingin ditayangkan. Dan mendidik untuk membentuk karakter adalah sepenuhnya dengan membangun kesadaran, bukan semata dengan ancaman~telah kita sepakati dengan 'diam' bahwa ancaman adalah salah satu bentuk kekerasan dan mendidik dengan 'kekerasan' tidak akan berbuah apa kecuali 'kekerasan' pula.
Sabtu, 03 Maret 2012
kekerasan dalam varian budaya
Membicarakan
kekerasan sama halnya dengan membicarakan sejarah manusia, sejarah selalu
diwarnai dengan kekerasan, atau bahkan kekerasan itulah sejarah manusia yang
juga diawali dengan kekerasan, sebagaimana kisah Habil dan Qabil yang cukup
menggambarkan tindak kekerasan awal manusia terhadap sesamanya, berlanjut juga
dalam epose Mahabarata. Dan bahkan
kekerasan telah pula digambarkan sebelum manusia diciptakan.
Sesuai dengan Firman Allah dalam
surat Al Baqarah ayat 30.Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Gambaran
dimana malaikat mulai mempertanyakan penciptaan manusia yang mereka ketahui
hanya akan berbuat kerusakan, seakan terdapat prediksi dari akibat-akibat
perbuatan manusia yang memiliki catatan panjang tentang tindak kekerasan. Tapi,
toh malaikat harus tunduk dengan jawaban yang cukup memuaskan: bahwa hanya
Tuhanlah yang mengetahui rahasia maksud dari penciptaanNya.
Dari
tulisan ini, bukan bermaksud untuk memvonis bahwasannya kekerasan adalah sifat
dasarnya manusia. Bukan. Hal tersebut tidak manusiawi dan terlalu sederhana
untuk memandang manusia yang kompleks.
Pun dalam kajian ilmu sosial juga telah terdapat usaha untuk menganalisis
kekerasan dari beragam sudut hingga sempat melibatkan ilmu psikologi bahkan
biologi untuk mengkaji kekerasan.
Tulisan
kali ini coba membedah kekerasan yang muncul dari varian-varian budaya yang
memang cukup populer akhir-akhir ini, kemajuan teknologi tidak hanya
mempermudah manusia dalam mengakses informasi tapi juga membuka jalan yang
mudah bagi proses asimilasi dan akulturasi, yang juga tidak hanya
membuka peluang persaingan antar ragam budaya, tapi juga telah memunculkan
varian-varian budaya hasil refisi sekaligus adaptasi.
Ah,
terlalu rumit, belum lagi terjawab persoalan kekerasan malah dibingungkan
dengan pembahasan budaya, memang tidak cukup hanya dengan menyebut sub-cultur untuk budaya-budaya kecil,
sebab pada kenyataannya dari sub-cultur
tersebut telah pula memunculkan sempalan-sempalan yang dapatlah dikatakan
serupa tapi tak sama.
Ambil
contoh komunitas punk yang cukup
digemari pemuda-pemuda liberal di jalanan, dari sub-cultur yang satu ini telah muncul beberapa sub lagi yang
sejenis, seperti crusty punk, punk street,
dan sebutan-sebutan lain untuk para pengagum musik dan gaya hidup impor ini.
Lain waktu ada kemungkinan pemuda-pemudi kita menyumbang satu nama lagi,
mungkin ndeso punk atau apapun untuk
menyatakan anti kemapanan.
Kembali pada kekerasan, menurut perspektif sosiologis,
kekerasan muncul dari kefrustasian, terhambatnya saluran-saluran untuk
pemecahan suatu masalah. Tentu kita tidak harus selalu bersandar dengan
pandangan seperti ini sebab sebagaimana ‘kejahatan’, kekerasan bisa saja terjadi
karena adanya kesempatan.
Johan Galtung, seorang pakar kriminologi memiliki pendapat
kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi
jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Dengan
kata lain bila yang potensial lebih tinggi dari yang aktual, maka ada
kekerasan. Realisasi potensial ialah apa yang mungkin untuk diwujudkan sesuai
dengan tingkat wawasan, pengetahuan, sumber daya dan kemajuan yang dicapai oleh
jamannya. Penyalahgunaan hal-hal tersebut untuk tujuan lain atau dimanipulasi
oleh sekelompok orang berarti ada kekerasan.
Dari sini muncul penggunaan istilah kekerasan untuk
menggambarkan suatu perilaku, baik terbuka, tertutup, menyerang maupun bertahan
yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Kekerasan terbuka adalah
kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian. Kekerasan tertutup adalah
kekerasan yang tidak secara langsung, seperti mengancam. Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan
untuk mendapatkan sesuatu .Kekerasan defensive
adalah kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri(http://nilaieka.blogspot.com/2009/05/teori-kekerasan.html).
Begitupun dengan kekerasan secara kolektif dan bentuk-bentuk terorisme. Jadi tidak
lagi semata penggunaan kekuatan fisik, tapi juga efektifitas upaya-upaya pemaksaan
gagasan dan nilai-nilai katakanlah upaya dominasi yang pada dasarnya hanyalah
bentuk isolasi diri.
Dari sini muncullah asumsi yang membatasi kesadaran seseorang
terhadap kemanusiaan, seakan hanya terbatas pada: ‘golongan kita’ dan ‘golongan
bukan kita’ lebih jauh lagi dengan sebutan ‘golongan musuh’. Ini merupakan
situasi yang sangat potensial bagi munculnya kekerasan, yang sekali lagi tidak
hanya dalam bentuk fisik, tapi dalam beragam bentuk, bukankah dengan
berkata-kata seseorang juga dapat melakukan kekerasan?.
Kecenderungan semacam ini tidak saja dimiliki oleh agen
budaya yang dominan, tapi juga oleh sub-cultur
yang muncul akibat ketidak sepakatannya dengan gagasan dan nilai-nilai yang ~
selalu saja dipaksakan oleh budaya yang dominan.
Untuk itu kiranya perlu mendiskusikan berulang-ulang tentang
nilai-nilai, tentang baik dan buruk dengan tidak saling mengisolasi diri
apalagi membebani dengan penggolongan-penggolongan yang pada dasarnya tidak
manusiawi. Toh essensi manusia sama, yang berbeda hanyalah dalam superfisialnya
saja tentang apa yang disenangi. Dan tak perlu untuk menciptakan permusuhan
jika sekedar masalah senang dan tidak senang, dan upaya pemaksaan gagasan
hanyalah tindakan ideologis yang mengingkari kemanusiaan.
Akhirnya adalah harapan untuk melaksanakan “bhineka tunggal
ika, tan hanna dharma mangrwa” dengan semangat pluralism tanpa ada upaya untuk
memanipulasi ke’bhinekaan’ itu sendiri. Salam punakawan berdaulat.
Langganan:
Postingan (Atom)