**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**

Anda Pengunjung ke:

Sabtu, 21 Januari 2012

Celoteh Ringan II: Pandawa-Pancasila

Dalam saya mengikuti-membaca kisah Mahabarata saya mencoba merangkum perwatakan/sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya. Dan memang akan terkesan mengherankan jika membaca judul tulisan ini, tentunya bagi para pecinta 'wayang' yang sangat mungkin didalamnya adalah para dalang, tapi inilah yang jadi pertanyaan bagi saya sendiri: dalam perkara apa sifat/watak para Pandawa dikaitkan dengan sila-sila Pancasila? Mungkin pula hal ini akan memunculkan protes, inilah tulisan yang sekiranya hanya mengajak berdialog mencari lagi setapak budaya sekedar berpartisipasi dalam 'nation character building'.

Kita mengenal tokoh-tokoh Pandawa dalam kisah Mahabarata, Pandawa lima, diceritakan sebagai lima bersaudara putra Pandu yang memiliki sifat dan kelebihan masing-masing disamping kehadiran mereka sebagai ksatria, lalu apa hubungannya dengan sila-sila Pancasila? Bukan lantaran konsep 'tuk gala gathuk' saya kemukakan padangan ini, tapi pada dasarnya saya menangkap keunikan (atau mungkin karena ketidak tahuan?). Untuk kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
Pandawa dalam versi India diceritakan memiliki istri tunggal, Dewi Drupadi, dan dalam versi Jawa tidak dikisahkan demikian, dalam versi Jawa para Pandawa memiliki istri (garwa) masing-masing, misalnya tokoh Bima yang beristri Dewi Arimbi, ketertarikan Bima pada Dewi Arimbi semata pada keluhuran dan keagungan Sang Dyah Ayu. Demikianlah sedikit simbolisasi perwatakan dalam kisah pewayangan yang memang penuh dengan simbolisasi karakteristik manusia.

Yudistira, tokoh protagonis yang digambarkan sebagai sosok yang bijaksana, merupakan saudara pandawa yang tertua. Dibandingkan dengan keempat saudaranya yang lain, Yudistira tampak paling lemah, dengan 'kanuragan' yang biasa-biasa saja, suatu hal yang memunculkan pendapat bahwa kepemimpinan yang dipegangnya juga akan lemah, lebih banyak berpikir daripada bertindak; lambat mengambil keputusan dan tidak tegas. Sebaliknya, diceritakan bahwa dibawah kepemimpinan Yudistira inilah pihak Pandawa dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapi, termasuk dalam perseteruan dengan Kurawa.
Sifat Yudistira tercermin dalam julukannya seperti 'Ajatasatru' yang berarti tidak memiliki musuh; 'Gunatalikrama' pandai bertutur bahasa; 'Samiaji' atau menghormati orang lain seperti diri sendiri dan Yudistira sendiri berarti pandai memerangi nafsu pribadi. Yudistira banyak meluangkan waktu untuk 'semedi', berkontemplasi dan berkomunikasi dengan Sang Hyang Tunggal. Kesederhanaan adalah gambaran khasnya.
Sebagaimana kebiasaan tokoh pewayangan, Yudistira juga memiliki 'gegaman' atau senjata khusus yaitu 'kyai tunggul naga'~mendengar nama ini penulis jadi ingat nama tombak yang menjadi pusaka milik Raden Batara Katong pada masa kesultanan Demak Bintoro, terlepas benar atau tidak, juga mengenani filosofi payung bisa kita bicarakan lain waktu dan lain tempat.
Selain 'gegaman' terdapat juga 'jimat jamus kalimasada' yang terkenal, sepanjang sepengetahuan saya, jamus kalimasada sendiri merupakan akronim dari 'kalimat syahadat' dari kata 'syahida' yang berarti "ia telah menyaksikan" yang merupakan kalimat pernyataan keesaan Allah dan nabi Muhammad sebagai utusanNya. Merupakan pernyataan ketertundukkan terhadap Tuhan, tauhid, konsep radikal yang mampu menghantam konsep ketertundukkan manusia terhadap selain Tuhan yang pada kenyataannya (sepanjang sejarahnya) selalu saja menindas manusia itu sendiri.
KeTuhanan Yang Maha Esa, merupakan pernyataan bahwa Tuhan itu benar-benar ada, tidak tunduk pada sesuatu apapun kecuali pada Tuhan. Sederhananya bahwa seluruh agama akan selalu membawa kebaikan dan negara tidak terbentuk atas dasar kepentingan kelompok atau orang seorang, negara ada karena musyawarah, kepentingan bersama dan inilah amanat Tuhan.
Sesuai dengan watak tokoh Yudistira, jujur dan sabar yang tak mungkin dapat diwujudkan dalam perilaku tanpa ada dasar keyakinan kepada Tuhan dan ketertundukkan kepada Tuhan. Kepemimpinan yang digambarkan lewat tokoh Yudistira adalah kepemimpinan yang diharapkan, mengerti kapan berkata 'ya' dan 'tidak', dengan wawasan yang luas dan kepasrahan terhadap keputusan Sang Hyang Tunggal sepertinya memberi jalan untuk mengantisipasi segala permasalahan dengan tepat dan bijaksana.
Werkudara, lebih dikenal dengan nama Bima atau Bimasena, anak kedua Pandu yang paling kuat, dalam setiap kisahnya selalu digambarkan heroik. Dari namanya sudah dapat digambarkan watak/sifat, seperti Bima yang dalam bahasa sansekerta berarti 'mengerikan', Werkudara dalam bahasa Sanskerta dieja vแน›(ri)kodara yang berarti 'perut serigala' dan Bimasena yang berarti 'panglima perang'. Sifat yang melekat dalam tokoh ini adalah kejujuran, keluguan dan kebersahajaan, seperti seorang yang menyadari sepenuhnya kemanusiaannya.
Ir. Soekarno sangat mengagumi tokoh Bima dan sempat mengidentifikasi dirinya mirip dengan tokoh Bima. Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, menyadari diri sebagai manusia ciptaan Tuhan, dengan menyadari diri sebagai manusia maka harus mampu pula memanusiakan manusia. Menjadi manusia yang adil yang tentunya harus sadar bahwa diri sebagai manusia, lalu adil terhadap diri, misalnya manusia itu pasti akan merasa lapar, kalau lapar harus  makan, lalu adil terhadap manusia yang lain, memanusiakan manusia, berlaku sebagaimana 'tat twam asi' kemudian adil terhadap Tuhan, menjalankan perintahNya menjauhi laranganNya. Mencapai manusia yang beradab. Hanya dengan menyadari diri sebagai manusia lah hal itu dapat terjadi.
Moral memiliki dasar kemanusiaan, kemanusiaan akan tetap sama dimanapun dan kapanpun, bergerak lurus, kejahatan terhadap kemanusiaan disuatu wilayah akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan diseluruh belahan bumi manapun.
Disetiap pertunjukkan wayang kulit, dalang akan selalu mengatakan“Jalan Raden Bratasena (salah satu nama dari Werkudara) lurus dan mengikuti apa kehendaknya. Lompat Raden Bratasena sejauh penglihatan gajah. Cepat sebagai kilat.”  Lalu gunungan dilewatkan berulang-ulang, diiringi 'suluk' atau lagu yang membangkitkan kegeraman pendengarnya. Hal ini menggambarkan lurusnya hati si tokoh dalam dunia wayang, tidak gentar menggenggam kebenaran, amarah yang sangat manusiawi terhadap segala yang rapuh dan goyah sebagaimana perlambangan munculnya Bratasena yang diiringi angin ribut, pohon yang akarnya dalam, patah, dan yang tak dalam tumbang. Demikianlah kemanusiaan, akan selalu bergerak lurus dimanapun dan sampai kapanpun.
Sebagai panglima perang, Bimasena adalah yang terdepan (selalu tampil digaris depan)~dalam perang Baratayuda, Bimasena memimpin pasukan garis depan (bahkan benar-benar didepan pasukannya) berjalan tanpa tunggangan, sekaligus memungkasi perang tersebut dengan menepati janjinya untuk meremukkan paha Duryudana.
Arjuna, tokoh ketiga dalam pandawa yang akhir-akhir ini cukup populer, lebih dikenal dengan ketrampilan memanah, lebih dari itu dalam wayang kulit kehadiran Arjuna selalu dengan kepala merunduk, seperti halnya padi 'semakin berisi semakin merunduk.'
Dalam wiracarita Mahabarata Arjuna digambarkan sebagai sosok yang rupawan dan lemah lembut, memiliki sepuluh nama yang masing-masing nama selain menggambarkan sifat/watak juga merupakan janji sang Arjuna. Arjuna sendiri dalam bahasa sansekerta berarti "bersinar terang", "putih", "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran". Memiliki beragam 'gegaman' dan 'kanuragan'.
Persatuan Indonesia, tentunya dapat dirajut dengan kerukunan antar kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, keadaan yang mana semua pihak mulai membuka diri satu sama lain, mau menerima dan saling mengisi, tidak sebaliknya dimana masing-masing pihak mulai menonjolkan diri dengan ego ke'aku'annya. lebih dari itu, keadaan bersatu merupakan senjata yang ampuh bagi Indonesia untuk menjawab tantangan jaman. Tidak hanya mengandalkan keris, rencong ataupun kujang. Bukan hanya Jawa, Aceh, Kalimantan ataupun Papua yang berada di garis depan, tapi keseluruhan yang saling mengisi dalam persatuan.
Nakula, merupakan putera Dewi Madri, dalam pewayangan Jawa Nakula memiliki nama Pinten (tanaman yang daunnya dapat digunakan sebagai obat) dan merupakan titisan Batara Aswin, dewa tabib.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Mempunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, dimana Nakula tidak akan pernah lupa tentang segala hal.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, merupakan hakikat dari demokrasinya Indonesia, rakyat yang berdaulat mendelegasikan atau mempercayakan kekuasaannya untuk dijalankan oleh wakil-wakilnya atas dasar musyawarah mufakat.
Sebagaimana penggambaran watak tokoh Nakula, wakil rakyat sudah seharusnya jujur, setia dan tahu membalas guna. Lebih lanjut, tidak mudah lupa kalaupun tidak mampu untuk selalu ingat tentang segala hal.
Tokoh berikutnya adalah Sadewa yang merupakan saudara kembar Nakula, tapi memiliki kelebihan dibanding saudara kembarnya yaitu pandai dalam segala ilmu pengetahuan, terutama disini tentang astronomi, peternakan dan pertanian, mampu memprediksi (untuk tidak mengatakan meramal) kejadian yang akan datang.
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, inilah yang menjadi cita-citanya bangsa Indonesia ketika membangun sebuah negara yang bernama Republik Indonesia, cita-cita dimana masyarakatnya hidup tidak dalam penghisapan oleh yang lain, atau tidak dalam keadaan dibodohi oleh sebagian yang lain, oleh karenanya ilmu pengetahuan adalah sangat penting dalam membangun kesadaran berdaulat rakyat Indonesia.
Disamping itu, tokoh Nakula dan Sadewa juga diceritakan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pandawa, tentu, rakyat akan semakin loyal terhadap negara andaikata sila keempat terlaksana dengan baik bahkan sila kelima dapat tercapai.
Demikian sedikit usaha saya dalam menggambarkan sila-sila Pancasila lewat perwatakan tokoh wayang sekiranya memang untuk kembali mengkampanyekan Pancasila, dan Pancasila sebagai gagasan yang sekaligus cita-cita besar ini dapat terus dikaji dan senantiasa diperkenalkan kepada tiap-tiap generasi.
Akhirnya dapat pula kita renungi makna semboyan "Bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa": berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua dan semoga kebenaran datang dari segala arah. Merdeka.

Renungan Kerja


Akhir-akhir ini saya sering mendapati keluhan orang, entah memang sengaja diceritakan atau ketika mencuri dengar pembicaraan orang, keluhannya umum tapi ‘urgent’ yaitu masalah pekerjaan, saya kata umum sebab inilah permasalahan pada umumnya orang-orang dan memang dari jaman saya sekolah, kebingungan orang selalu saja berputar pada masalah pencarian rejeki ataupun jodoh.
Dua tema inilah yang kerap jadi persoalan yang sangat mungkin dibawa-bawa disetiap do’a permohonan kepada Sang Pencipta. Semoga saja Tuhan tidak bosan mendengar permohonan yang sebenarnya adalah urusan rahasia milikNya.
Terlepas dari itu semua, pada dasarnya memang telah terjadi pendangkalan makna yang bukan hanya menyangkut rejeki dan jodoh, tapi bahkan (mungkin) juga agama, atau bahkan Tuhan pun telah didangkalkan? Iya atau tidak, kita bahas lain waktu, harus ada kesiapan moral untuk menulisnya, cukuplah kini tentnag rejeki. Untuk inipun harus didangkalkan dulu biar tidak terlalu ‘muluk-muluk’ atau “terlalu idealis”.
Rejeki menjadi dangkal maknanya ketika dibatasi lingkupnya, ketika faham materialism menyediakan ruang sempit tentang orientasi finansial, dan rejeki berputar-putar pada permasalahan kerja/pekerjaan, sedangkan kerja/pekerjaan sendiri juga telah mengalami pendangkalan makna.
Hakikatnya kerja memanglah untuk mencukupi kebutuhan hidup, manusia mengolah alam atau mengerjakan alam untuk kemudian dapat mereka manfaatkan, contoh gampangnya ya bertani, mengolah alam menjadi lahan pertanian yang hasilnya tentu untuk kebutuhan makan. Lebih jauh dari itu. Pekerjaan, ialah kegiatan khas manusia yang merupakan makhluk ganda yang aneh, disatu sisi sebagai makhluk alami sebagaimana binatang yang membutuhkan alam untuk hidup sekaligus disisi lain manusia dihadapkan dengan alam sebagai sesuatu yang asing~alam harus diolah dulu, lebih dari itu harus menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya.
Bagi Karl Marx, kerja/pekerjaan adalah suatu proses yang menghasilkan, lebih jauh, berikut pandangan Marx tentang bagaimana pekerjaan membenarkan diri manusia dan hakikat sosial manusia.
“Andaikata kita berproduksi sebagai manusia (artinya, secara tidak terasing): masing-masing dari kita dalam produksinya membenarkan diri sendiri dan sesama secara ganda. Aku dalam produksiku mengobjektifkan individualitasku, kekhasanku, maka waktu melakukan kegiatan kunikmati… dalam memandang objek, kegembiraan individual bahwa aku mengetahui kepribadianku sebagai kekuatan objektif yang dapat dilihat secara inderawi, tidak dapat diragukan. Dalam nikmatmu atau pemakaianmu atas objekku aku langsung menikmati kesadaran bahwa dalam pekerjaanku aku memenuhi kebutuhan sebagai manusia dan karena menciptakan objek yang sesuai dengan kebutuhan manusia lain, aku menjadi perantara antara engkau dan umat manusia, jadi bahwa aku dibenarkan dalam pikiranmu maupun dalam cintamu, bahwa dalam ungkapan hidup individualku aku langsung menciptakan ungkapan hidupmu, jadi bahwa dalam kegiatan individualku aku langsung membenarkan dan merealisasikan hakikatku yang benar, kemanusiaanku, kesosialanku”1
Marx juga memandang bentuk keterasingan manusia dari pekerjaannya adalah ketika manusia tidak memiliki hasil pekerjaannya tersebut, gambaran kasarnya sudah terlalu banyak di Indonesia, sebagaimana buruh pabrik sepatu yang memproduksi sepatu untuk kemudian dijual baik di negeri sendiri maupun di luar negeri dengan merk tertentu yang ‘made in’ luar negeri. Atau produksi-produksi lainnya, toh bangsa kita yang memproduksi tanpa ada “alih teknologi” (maaf sedikit sartire). Manusia menjadi terasing dari dirinya karena ia terasing dari pekerjaannya, makna pekerjaan disini jadi semata untuk bertahan hidup, inilah bentuk keterasingan menurut Karl Marx, dimana manusia sama sekali tergantung kepada para pemilik alat produksi, bahkan di Indonesia banyak yang tergantung pada pemilik ‘brand’.
Dari sini dapat dipahami pendangkalan makna rejeki yang hanya terbatas pada suatu lingkup makna saja, yaitu orientasi finansial. Kiranya, kita pun tidak hanya membatasi maknanya hanya sampai disitu. Ada cerita ketika saya berjualan buku ke pesantren-pesantren di Singosari, bersama seorang teman senasib seperjuangan, Wahyu Nugroho, suatu ketika ada pesanan buku lewat SMS dari seorang ustad, tidak banyak, hanya dua judul dan karena masih berupa usaha rintisan maka mau tidak mau harus diantar dua buku itu. Muncul kesadaran ketika sedang ngobrol disebuah warung kopi di pasar Singosari, dimana memang laba dari hasil penjualan dua judul buku tadi hanya cukup buat ongkos ngopi dan beberapa ‘gorengan’, tapi dari ‘jelajah pesantren’ ini pula kami mendapat banyak masukkan ilmu.
Lebih jauh lagi, tentang etos kerja yang diajarkan dalam Islam, ada dua syarat yang menjadi ukuran bekerja dengan benar dalam Islam: pertama, benar dari aspek niatnya dan kedua dari aspek pelaksanaannya. Tentu, niat yang baik agar tidak menjadi beban bagi orang lain, dan tentunya dengan cara yang baik pula, bukan dengan mencuri, merampok bahkan korupsi.
Dalam pandangan Islam, ada dua masalah yang perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pekerjaan (tahsilul amal). Pertama, pekerjaan itu disebut ‘amalan masru’ (pekerjaan yang dibenarkan oleh syariat). Meskipun dilakukan dengan ikhlas, tetapi pekerjaan itu mencuri maka tidak dianggap benar menurut syara’. Kedua, pekerjaan itu tidak sampai mengganggu tugas-tugas yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat dan puasa.2
Dan bukankah rejeki tak semata berupa materi? Dalam hal ini, sebagaimana kisah saya bersama teman saya, ilmupun juga rejeki (ngg’perlu mondok untuk menyerap ilmu dari para ustad, dan untuk hal ini saya wajib bersyukur). Lebih dari itu, senantiasa untuk diusahakan memaknai kerja sebagai ibadah, kerja bukan untuk siapapun dan bukan untuk apapun melainkan untuk Allah. Pun juga ada baiknya untuk tidak memanfaatkan hal ini demi mengkerdilkan atau bahkan menelikung pekerja, misalnya ketika suatu perusahaan tidak mau membayar upah lebih kepada pekerjanya, perusahaan menyarankan pekerjanya untuk mensyukuri apa yang telah mereka peroleh.
Sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Quran: Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. (QS. al-Hijr (15) : 20)

(1)    Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001) hlm.  94
(2)    M. Ainul Yaqin, Nilai-nilai Ibadah Dalam Bekerja (Malang: Buletin Imamah edisi: XV/Shafar/1433 H.)
(3)    Al Quran, Surah Al-Hijr (15):20