Dalam setiap pembicaraan mengenai sosialisme-alih alih membuat
perbandingan, yang terjadi malah mengungkap pertentangan dua sisi (Islam
dan sosialisme) yang tidak memiliki dasar kuat. Sering terjebak dalam
pandangan bahwa sosialisme seluruhnya adalah Marxime-leninisme
(komunis).
Sosialisme, muncul sebagai reaksi terhadap
kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme-liberal
yang tamak dan murtad. Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau
buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi
dan transportasi. Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela
hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan,
golongan dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan
dan kemakmuran. Mereka menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi Di
antara tokoh-tokoh awal penganjur sosialisme dapat disebut antara
lain: St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837), Robert Owen
(1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Setelah itu baru muncul
tokoh-tokoh seperti Proudhon, Marx, Engels, Bakunin dan lain
sebagainya.
Pada akhir abad ke-19 sosialisme dan berbagai
alirannya mulai mendapat penerimaan luas di Eropa. Ini disebabkan
karena mereka tidak hanya melontarkan ide-ide dan mengembangkan wacana
di kalangan intelektual dan kelas menengah, tetapi juga terutama karena
mengorganisir gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal dan bahkan
revolusioner.
Walaupun faham sosialisme atheis ditolak
oleh para cendikiawan dan ulama, sejumlah cendekiawan Muslim sendiri
memandang bahwa dalam Islam sebenarnya terkandung ajaran ‘semacam
sosialisme’. Ajaran ini tidak hanya terpendam sebagai cita-cita,
tetapi malah telah dipraktekkan pada masa hidup Nabi dan khalifah
al-rasyidin. Di antara cendikiawan Muslim abad ke-20 yang mengemukakan
hal ini ialah Mohamad Hatta dan Muhammad Husein Heikal.
Bung
Hatta menyatakan “Jiwa Islam berontak terhadap kapitalisme yang
menghisap dan menindas, yang menurunkan derajat manusia, yang membawa
sistem yang lebih jahat daripada perbudakan, daripada feodalisme. Dunia
ini kepunyaan Allah semata-mata yang disediakan untuk tempat kediaman
manusia sementara, dalam perjalanannya menuju dunia baka. Kewajiban
manusia tidaklah memiliki dunia, yang kepunyaan Allah, melainkan
memeliharanya sebaik-baiknya dan meninggalkannya (mewariskan) kepada
angkatan kemudian dalam keadaan yang lebih baik dari yang diterimanya
dari angkatan terdahulu.”
Sebelumnya dalam risalahnya
“Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” (1963) Bung Hatta menulis:
“Sekarang, bagaimana duduknya sosialisme Indonesia? Cita-cita
sosialisme lahir dalam pangkuan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam
pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan,
dengan sendirinya orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme –
perikemanusiaan – yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua
Barat… Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa
Islam, yang memang menghendaki pelaksanaan … perintah Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang
menyayangi dan dalam suasana persaudaraan dengan tolong-menolong”.
Adapun
Kiri Islam dari Hassan hanafi yang pada dasarnya merupakan kritik
terhadap borjuasi yang diterapkan pangeran-pangeran Arab. Hassan Hanafi
meluncurkan jurnal berkalanya: Al-Yasar al Islami: Kitabat fi an Nahdhah
al Islamiyyah (Kiri Islam: Beberapa esai tentang kebangkitan Islam)
pada tahun 1981 setelah kemenangan revolusi Islam di Iran. Hassan Hanafi
menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan
praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Hassan Hanafi
melihat kecenderungan ini terjadi hanyalah sebagai topeng untuk
menyembunyikan feodalisme kesukuan dan kapitalisme kesukuan. Liberalisme
pun tidak luput dari sasaran kritik kiri Islam, meskipun secara teori,
liberalisme adalah anti kolonial, tapi liberalisme sendiri merupakan
produk kolonialisme Barat. Faktanya liberalisme sendiri hingga kini
didukung oleh suatu kelas yang mengendalikan kesejahteraan nasional.
Kiri
Islam bukanlah muslim berbaju marxis, sebab ia juga hadir sebagai
kritik terhadap marxisme, dalam pembelaannya yang memperjelas kehadiran
kiri Islam adalah sebagai bentuk perjuangan yang mengusik kemapanan
politik dan agama. Isu utamanya adalah kolonialisme, kapitalisme dan
zionisme yang telah mengkotakkan Islam dalam permasalahan-permasalahan
akut seperti kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan. Jadi jelas
bahwa Kiri Islam tidak memncapur adukkan perjuangannya dengan pandangan
sosialis meskipun dapat dikatakan memiliki permasalahan yang sama.
Memang
kecenderungan atheisme yang terdapat dalam faham sosialisme modern
dengan sendirinya akan ditolak oleh masyarakat beragama. Akan tetapi
beberapa aspek dari pemikiran kaum sosialis seperti keadilan sosial itu
tidak ditolak. Di kalangan cendekiawan Muslim tidak sedikit pula yang
berpendapat bahwa dalam Islam sebenarnya terdapat pula ajaran yang
sejalan dengan pokok-pokok pemikiran yang dikemukakan oleh sosialisme
modern. Di antara tokoh-tokoh Islam yang berpendapat demikian antara
lain ialah Muhammad Iqbal dan Muhammad Husein Heikal. Di Indonesia,
sosialisme religius telah dianjurkan sejak awal abad ke-20 oleh
tokoh-tokoh seperti Cokroaminoto pada tahun 1905 (bukunya Islam dan
Sosialisme) dan K. H. Agus Salim. Cokroaminoto memandang sistem
kapitalisme yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia
merupakan bentuk dari “Kapitalisme Murtad”. Adapun Haji Misbach yang
sering disebut Haji Merah lebih memilih komunisme dalam perjuangannya,
disamping ia juga berpendapat bahwa slam dan komunisme tidak selalu
harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak
untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
Kiri Islam
dan Sosialisme dalam kehadirannya menyerukan tentang keadilan sosial, ia
tidak muncul dari keadaan hampa yang mengada-ada, ia mencoba menjawab
setiap ketimpangan hasil kapitalisme-liberalistis lewat kritik sekaligus
menyerang praktek borjuasi. Borjuasi meskipun memberi kesan tudingan
terhadap suatu kelas tertentu dalam masyarakat, tapi juga adalah gaya
hidup yang pada dasarnya dalam ajaran Islam mendapat tentangan dan
merupakan hal yang patut dijauhi, sebagaimana yang disebutkan dalam
Surat At Takatsur (saya tidak memiliki kewenangan dalam membahas
terjemahannya) yang kurang lebih memuat larangan untuk hidup
bermegah-megahan.
Begitupun dengan jargon "rahmatan
lil'alamin" yang menyatakan kehadiran Islam sebagai "rahmat sekalian
alam" yang bagi saya sendiri juga membawa semangat egalitarian yang
menentang bentuk kelas sosial, dimana tidak terdapat penghisapan manusia
oleh manusia. Hanyalah fatamorgana duniawi yang menghasut orang untuk
terlena dalam kekuasaan dan kemegahan. Tentang agama sebagai ujung
tombak politik, bolehlah kita buka suatu diskusi untuk mencari jalan
kesepakatan menuju suatu tatanan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera
yang benar-benar mempraktekkan jargon "rahmatan lil'alamin" bukan
"kapitalisme lil'alamin" apalagi "syahwatan lil'alamin". salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar