**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS**

Anda Pengunjung ke:

Senin, 26 Desember 2011

Celoteh ringan I (dari catur paramita hingga 'ngemong roso')

Oleh: Yoehan Rianto Prasetyo
Mau diakui atau tidak, pada dasarnya moral yang memiliki dasar kemanusiaan selalu mengalami dialektika, sebab bertemunya budaya-budaya yang juga membawa nilai-nilai moralnya. Sedangkan kemanusiaan yang menjadi dasarnya moral adalah sama dimanapun dan kapanpun. Dengan begitu moral pada dasarnya akan selalu dipelajari, tiap generasi mempelajari segala yang ditemukan oleh generasi sebelumnya, dan dalam tiap proses belajar itu terjadi pula dialektika 'perulangan'. Berikut merupakan ajaran-ajaran yang sarat akan nilai moral yang ada dalam kebudayaan yang kiranya cukup patut menjadi bahan diskusi dalam menyimak kembali nilai-nilai moral yang telah ada dalam budaya Nusantara demi proses 'nation character building'. Catur Paramita, berasal dari bahasa Sansekerta. Dari kata ”catur” yang berarti empat dan ”paramita” berarti sifat dan sikap utama. Catur Paramita berarti empat macam sifat dan sikap utama yan patut dijadikan landasan bersusila. Catur Paramita merupakan salah satu dari landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau ethika dalam ajaran agama Hindu. Adapun bagian-bagian catur paramita antara lain : Maitri artinya semangat mencari kawan dan bergaul, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah-tamah, serta menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam diri pribadinya. Untuk berbuat Maitri, maka kita jangan melakukan / berbuat bencana yang bersifat maut (Anta Kabhaya) atau jangan membenci. Karuna artinya belas kasih, maksudnya adalah selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap semua makhluk. Untuk berbuat karuna, maka pantang melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan bengis. Mudita artinya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpatisan terhadap yang baik serta sopan santun. Untuk dapat berbuat mudita, maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan memiliki rasa iri hati kepada orang lain. Upeksa artinya senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan bisa juga dimaksud dengan tahu diri (mawas diri). Untuk berbuat upeksa maka pantang menghina orang lain, memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat. Ajaran Catur Paramita merupakan realisasi dari ajaran Tat Twam Asi yang merupakan bentuk penyempurnaan etika-perbuatan bagi masyarakat Hindu. Tat twam asi sendiri merupakan suatu ungkapan yang berarti, kurang lebih adalah kau adalah aku, lebih dari itu tat twam asi merupakan filosofi yang mengajarkan bahwa apa yang dirasakan oleh manusia adalah sama. Tiap-tiap orang memiliki rasa sakit yang sama dan sama-sama tidak ingin mengalaminya, jika kena pukul itu sakit maka janganlah memukul orang lain, jika dibenci atau dikucilkan itu tidak menyenangkan maka jangan membenci atau mengucilkan orang lain. Mengejek, fitnah atau hal-hal lain yang tidak manusiawi memang sudah selayaknya dihindari, sebaliknya hal-hal/perbuatan yang dapat bermanfaat bagi orang lain atau minimal berdampak pada kebahagiaan-kenyamanan bagi orang lain adalah yang diharapkan. Selaras dalam hal ini ada ungkapan dalam masyarakat Jawa "mikul duwur mendem jero" yang berarti akan lebih baik jika menjunjung kebaikan dan melupakan segala yang buruk dalam hal ini lebih pada prinsip hidup tidak menyimpan dendam yang pada kenyataannya malah sering dimanfaatkan secara pragmatis. Adapula dalam filosofi Jawa yaitu 'ngedu roso' yang berarti mengadu rasa atau bisa juga dikatakan 'ngemong roso' atau menjaga rasa, hal ini lebih sulit dilakukan sebab menyangkut 'perasaan'. Apalagi dalam era liberal saat ini yang lebih mengedepankan hak asasi secara individual, jangankan untuk menjaga rasa, perhatian terhadap kepedulian sosial sangat minim. Sepertinya kita sebagai generasi bangsa yang mewarisi budaya luhur ini lebih suka melihat kehancuran seseorang daripada turut berpartisipasi membangun dan memperkuat sesama. Meskipun demikian dapatlah selalu kita harapkan, kita cita-citakan suatu tatanan kemasyarakatan yang penuh dengan kepedulian, kalau tidak dengan generasi kita, boleh dengan generasi mendatang, kalau tidak sanggup untuk peduli bolehlah hanya sekedar menjaga perasaan. Sebagai tambahan, sebagaimana komentar seorang teman lewat jejaring sosial 'face book' yang mempertanyakan kecenderungan mengalah dalam konsep catur paramita dan ada tidaknya manusia yang sebagaimana dimaksudkan dalam catur paramita, yang memang faktanya hanya ada kepentingan dan pembenaran/pewajaran, tapi bukannya tidak ada manusia semacam itu, dari Abdullah bin Mas'ud: seolah-olah aku masih teringat (melihat) Rasulullah Saw. melukiskan nabi terdahulu ketika dipukuli oleh kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darah dari wajahnya sang nabi berdoa "Allahummaghfir liqaumi fainnahum laa ya'lamuun (Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu). Pada akhirnya dapat saya gunakan pula istilah manusia dalam bahasa Jawa yaitu 'Manungso' yang diartikan 'manunggale roso' atau menyatunya rasa, dan kehadiran manusia dalam hidup ini memanglah akibat dari menyatunya rasa. Tentunya rasa yang dikatakan baik, bukan lantaran dengki, iri, dendam, atau bahkan karena intrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar