Hampir menggejala di kota-kota besar di Indonesia, terutama basis
industri manufaktur maupun jasa dan perdagangan, biangnya adalah macet,
moda transportasi umum yang acakadul, ledakan penduduk, lahan
yang sempit, semua berhimpit menjadi komoditas. Macet ditanggulangi
dengan pembangunan jalan tol baik dalam kota maupun lingkar luar kota.
Disamping itu pembangunan jalan layang, disertai pula jumlah kendaraan
pribadi yang membludak baik mobil maupun motor, maka semakin semrawutlah
wajah sebuah kota.
Moda transportasi umum yang asal bisa hadir tiap hari juga menjadi
penyumbang yang signifikan dalam kompleksitas kota. Asap yang tak
terkendali juga usia keekonomian yang tak pernah diperhitungkan untuk
sebuah moda transportasi umum, selain juga sopir yang ugal-ugalan maka
semakin menjadi beban kota. Pengurai disebagian kota besar malah
tertelan oleh lingkungan sebagai contoh busway di Jakarta. Busway
bisa dibilang dianggap gagal dalam hal mengurai kemacetan di Kota
Jakarta malah sebaliknya dianggap biang kemacetan. Waktu tempuh dan jam
antri juga menjadi masalah busway.
Beranjak kepada ledakan penduduk terutama pulau Jawa, dimana hampir 2/3
populasi ada di pulau ini, hal ini linier dengan ketersediaan akses
publik mulai sembako, transportasi layanan umum seperti kesehatan dan
pendidikan. Terjadi persaingan yang tak sehat, disparitas semakin
menganga bak luka yang tak kunjung sembuh karena disirami air garam.
Konflik tanah adalah konflik purba setua usia peradaban manusia, terkait
juga cara pandang manusia, namun dijaman yang semakin modern ini maka
konflik tanah adalah martabat hidup sebagai bagian komunitas. Hampir tak
ada lagi istilah tanah tak bertuan apalagi tanah di kota adalah soal
hidup dan mati.
Maka kompleksitas diatas haruslah diurai satu per satu, Macet maka perlu
pembatasan jumlah kendaraan pribadi yang beredar setiap hari. Bagaimana
menerapkan kebijakan ini? Pajak progresif, three in one. Moda
transportasi umum dengan cara subsidi untuk pengadaan kendaraan baru dan
jaminan ketersediaan suku cadang tentunya dengan subsidi pula. Ledakan
penduduk perlu dengan intensifikasi gerakan KB nasional, bisa dengan
menambah duta-duta di sekolah menengah dan perguruan tinggi untuk
sosialisasi. Konflik tanah dengan undang-undang landreform yang
berpihak kepada masyarakat akar rumput. Maka sistem yang cerdas sanggup
mengurai kompleksitas, sebaliknya sistem yang pandir tertelan oleh
lingkungannya.
Tony Herdianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar