Tulisan ini tidak mempunyai kehendak semacam gendang yang dipukul
bertalu-talu. Juga tidak membuat suasana hingar bingar yang sudah
diwakili masyarakat Indonesia kontemporer. Juga tidak hendak
memprovokasi agar perjuangan haruslah melalui jalan kekerasan melainkan
mari kita saling lempar wacana , bukan lempar handuk sembunyi badan
.Hanya saja kemudian mencoba menyambung sebuah diskusi informal dengan
seorang kawan tentang relevansi demokrasi dan Islam. Pertanyaan mendasar
adalah kompatibelkah antara dua arus besar untuk bersatu jika keduanya
mengusung kecurigaan. Bahwa dibutuhkan penerimaan yang tulus dan sungguh
sungguh para pihak agar terbangun jembatan penghubung antar peradaban.
Jika peradaban dinasti yang berkuasa pasca khalifah disebut model ideal
tentang negara. Maka kita akan mundur ke belakang sejak sebelum Islam
diajarkan Oleh nabi Muhammad. Bahwa budaya patriarki adalah sebelum
kedatangan nabi sudah ada maka peradaban yang hendak dibangun oleh
kalangan pengusung daulah kedinastian bisa saja mendekati abad
kegelapan. Maka ada namanya jalan tengah, mungkin model ini diterapkan
oleh negara Turki saat sekarang. Sekalipun ide tentang sekularisasi
meluluhlantakkan peradaban Turki pasca perang dunia kedua , saat
sekarang pelan tapi pasti meminjam istilah Peter L Berger bahwa peran
agama diterima selaku benar adanya.
Maka runtuhlah ide sekularisasi yang diusung oleh peradaban Eropa
berikut sistem jelmaan manusia yang rakus.
Imperialisme,kapitalisme,liberalisme dan matinya komunis seiring dengan
semakin seksinya sosialis bertabur kue kapitalisme model Cina. Maka
demokrasi tidak menyingkirkan peranan agama sama sekali bahkan
berkolaborasi membangun sebuah negara bangsa semacam Indonesia. Kita
temukan dalam mukadimah undang undang dasar 1945. Ideologi bangsa juga
bersumber atas kehendak atau campur tangan Tuhan yang maha esa.
Dari sini kita akan temukan bahwa model negara bangsa menemukan jalannya
ketika kita melihat diri sendiri sebagai sebuah bangsa Indonesia yang
utuh. Kita berdiri di atas berbagai kemajemukan , bhineka tungga ika.
Dan para pendiri bangsa paham betul bahwa peranan agama sangat relevan
dan kompatibel dengan negara bangsa. Maka demokrasi Pancasila
mengelaborasi peranan agama dalam sebuah negara bangsa Indonesia.
Tony Herdianto
sebagai lanjutan politicalzine Buletin Garis yang sebelumnya juga merupakan media informasi foto copyan
Anda Pengunjung ke:
Senin, 07 Mei 2012
Pemimpin belajar memimpin
Kecenderungan yang terjadi adalah pengabaian kepemimpinan diri sendiri dan berusaha memimpin dan mempengaruhi orang lain, hasilnya bukan memimpin tetapi memerintah bahkan memaksa orang lain (dengan beragam cara dan sifat orang lain untuk mengikuti kehendak).
Pada dasarnya setiap orang adalah pemimpin, namun tiap orang tidak akan lepas dari orang lain, maka tiap orang juga membutuhkan kepemimpinan orang lain. Dari sini terdapat juga proses belajar, secara sederhana proses belajar adalah juga suatu proses berubah; dari tidak tahu menjadi tahu, atau dari tidak mengerti menjadi mengerti, berubah bukan? Terutama dalam hal perilaku, belajar tanpa ada perubahan tingkah laku ibarat pohon yang tiada berbuah. Percuma.
Dalam belajar seseorang juga turut mempelajari aturan, misalnya ketika belajar mengendarai sepeda motor yang tidak hanya mempelajari cara mengendalikan mesin yang mengefektifkan transportasi kita tersebut, tapi aturan berkendaranya juga. Kalau hanya sekedar mempelajari cara mengendalikan mesinnya saja, hasilnya ya babak belur di jalan raya.
Mempelajari lalu mengetahui aturan adalah kewajiban, sebagaimana yang pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas" yang dapat dipahami dalam hal ini adalah semakin dalam pengetahuan seseorang maka semakin banyak pula aturan yang dia pahami, kecenderungan dalam realitas memang sering terbalik dimana semakin tinggi pendidikan seseorang malah semakin tidak mengenal batas, sebaliknya malah tambah rakus.
Demikian pentingnya proses belajar, tentunya sangat penting bagi seorang pemimpin yang sekaligus berperan sebagai panutan (teladan), akan jadi pertanyaan ketika seorang pemimpin tidak mau belajar, apa yang dapat di'panut' dari seorang pemimpin yang enggan belajar? Sebagaimana juga guru, yang katanya 'digugu dan ditiru' yang harus memiliki semangat belajar tinggi yang tidak kalah dengan anak didiknya, apa yang dapat dipelajari dari guru yang enggan belajar, bukan?
Perlu mendapat perhatian disini adalah juga tentang tiga kecerdasan yang harus dimiliki seorang pemimpin, antara lain:
Kecerdasan spiritual/ spiritual quotient (SQ), terkait kesadaran akan siapa diri. Menurut Nabi Muhammad, siapa yang mengenali dirinya maka ia pun mengenal Tuhannya. Lebih dari itu, pengetahuan keagamaan adalah sangat penting terkait pemimpin juga adalah seorang teladan bagi yang dipimpin.
kedua adalah emosional/Emotional quotient (EQ), terkait dengan perasaan memang dan penataan emosi yang nantinya diharapkan juga terdapat penguasaan dan pengendalian diri, secara sederhananya adalah kedisiplinan yang terkait dengan penempatan segala sesuatu dengan tepat dan benar, termasuk menempatkan diri dengan tepat dan benar. Benar harus digaris bawahi sebab menyangkut perilaku yang sesuai dengan aturan. Bagaimana jadinya jika kita dipimpin oleh seorang yang tidak terkendali?
Selanjutnya adalah kecerdasan intelektual (IQ), seseorang yang terasah kecerdasan intelektualnya adalah seseorang yang mampu membedakan antara yang salah dan yang benar. sekali lagi'yang benar'. Kecerdasan intelektual akan memberikan banyak pilihan bagi seseorang untuk merumuskan kebijakan (keputusan). Dan yang patut diingat, dalam kecerdasan ini, peran hati nurani sungguh cukup besar. Seorang pemimpin yang terasah kecerdasan intelektualnya juga merupakan seorang kreator bagi yang dipimpinnya, dengan begitu ia tidak akan mudah dihasut dan dijilat.
Memang tidak terdapat ciri-ciri yang dapat menunjukkan sosok pemimpin yang ideal, kembali lagi, proses belajar menjadi hal utama disini, pemimpin yang memiliki semangat belajar yang tinggi bisa jadi merupakan sosok ideal sebab pemimpin yang seperti ini akan senantiasa berbenah. Pemimpin yang senantiasa berbenah tentunya adalah sosok yang lebih mengutamakan orang-orang yang dipimpinnya; terbuka dan tidak segan mengajak orang lain untuk selalu bersiap dengan perubahan. Lebih dari itu, dalam hal pembangunan bangsa hingga saat ini adalah munculnya sosok-sosok yang mampu menjadi teladan, tentunya untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang baik, bukankah dari masyarakat yang baik akan muncul pemimpin yang baik? Tentu pula pembangunan semacam ini berangkat dari lingkup terkecil dalam masyarakat: keluarga, dan belajar adalah proses tanpa akhir sebagaimana sering kita dengar "menuntut ilmu adalah jihad." Salam.
Langganan:
Postingan (Atom)