Dalam saya mengikuti-membaca kisah Mahabarata saya mencoba merangkum
perwatakan/sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh yang terlibat
didalamnya. Dan memang akan terkesan mengherankan jika membaca judul
tulisan ini, tentunya bagi para pecinta 'wayang' yang sangat mungkin
didalamnya adalah para dalang, tapi inilah yang jadi pertanyaan bagi
saya sendiri: dalam perkara apa sifat/watak para Pandawa dikaitkan
dengan sila-sila Pancasila? Mungkin pula hal ini akan memunculkan
protes, inilah tulisan yang sekiranya hanya mengajak berdialog mencari
lagi setapak budaya sekedar berpartisipasi dalam 'nation character
building'.
Kita mengenal tokoh-tokoh Pandawa dalam
kisah Mahabarata, Pandawa lima, diceritakan sebagai lima bersaudara
putra Pandu yang memiliki sifat dan kelebihan masing-masing disamping
kehadiran mereka sebagai ksatria, lalu apa hubungannya dengan sila-sila
Pancasila? Bukan lantaran konsep 'tuk gala gathuk' saya kemukakan
padangan ini, tapi pada dasarnya saya menangkap keunikan (atau mungkin
karena ketidak tahuan?). Untuk kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
Pandawa
dalam versi India diceritakan memiliki istri tunggal, Dewi Drupadi, dan
dalam versi Jawa tidak dikisahkan demikian, dalam versi Jawa para
Pandawa memiliki istri (garwa) masing-masing, misalnya tokoh Bima yang
beristri Dewi Arimbi, ketertarikan Bima pada Dewi Arimbi semata pada
keluhuran dan keagungan Sang Dyah Ayu. Demikianlah sedikit simbolisasi
perwatakan dalam kisah pewayangan yang memang penuh dengan simbolisasi
karakteristik manusia.
Yudistira,
tokoh protagonis yang digambarkan sebagai sosok yang bijaksana,
merupakan saudara pandawa yang tertua. Dibandingkan dengan keempat
saudaranya yang lain, Yudistira tampak paling lemah, dengan 'kanuragan'
yang biasa-biasa saja, suatu hal yang memunculkan pendapat bahwa
kepemimpinan yang dipegangnya juga akan lemah, lebih banyak berpikir
daripada bertindak; lambat mengambil keputusan dan tidak tegas.
Sebaliknya, diceritakan bahwa dibawah kepemimpinan Yudistira inilah
pihak Pandawa dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapi,
termasuk dalam perseteruan dengan Kurawa.
Sifat Yudistira
tercermin dalam julukannya seperti 'Ajatasatru' yang berarti tidak
memiliki musuh; 'Gunatalikrama' pandai bertutur bahasa; 'Samiaji' atau
menghormati orang lain seperti diri sendiri dan Yudistira sendiri
berarti pandai memerangi nafsu pribadi. Yudistira banyak meluangkan
waktu untuk 'semedi', berkontemplasi dan berkomunikasi dengan Sang Hyang
Tunggal. Kesederhanaan adalah gambaran khasnya.
Sebagaimana kebiasaan tokoh pewayangan, Yudistira juga memiliki 'gegaman' atau
senjata khusus yaitu 'kyai tunggul naga'~mendengar nama ini penulis
jadi ingat nama tombak yang menjadi pusaka milik Raden Batara Katong
pada masa kesultanan Demak Bintoro, terlepas benar atau tidak, juga
mengenani filosofi payung bisa kita bicarakan lain waktu dan lain
tempat.
Selain 'gegaman' terdapat juga 'jimat jamus
kalimasada' yang terkenal, sepanjang sepengetahuan saya, jamus
kalimasada sendiri merupakan akronim dari 'kalimat syahadat' dari kata 'syahida'
yang berarti "ia telah menyaksikan" yang merupakan kalimat pernyataan
keesaan Allah dan nabi Muhammad sebagai utusanNya. Merupakan pernyataan
ketertundukkan terhadap Tuhan, tauhid, konsep radikal yang mampu
menghantam konsep ketertundukkan manusia terhadap selain Tuhan yang pada
kenyataannya (sepanjang sejarahnya) selalu saja menindas manusia itu
sendiri.
KeTuhanan Yang Maha Esa, merupakan pernyataan bahwa Tuhan
itu benar-benar ada, tidak tunduk pada sesuatu apapun kecuali pada
Tuhan. Sederhananya bahwa seluruh agama akan selalu membawa kebaikan dan
negara tidak terbentuk atas dasar kepentingan kelompok atau orang
seorang, negara ada karena musyawarah, kepentingan bersama dan inilah
amanat Tuhan.
Sesuai dengan watak tokoh Yudistira, jujur dan sabar
yang tak mungkin dapat diwujudkan dalam perilaku tanpa ada dasar
keyakinan kepada Tuhan dan ketertundukkan kepada Tuhan. Kepemimpinan
yang digambarkan lewat tokoh Yudistira adalah kepemimpinan yang
diharapkan, mengerti kapan berkata 'ya' dan 'tidak', dengan wawasan yang
luas dan kepasrahan terhadap keputusan Sang Hyang Tunggal sepertinya
memberi jalan untuk mengantisipasi segala permasalahan dengan tepat dan
bijaksana.
Werkudara, lebih dikenal dengan nama
Bima atau Bimasena, anak kedua Pandu yang paling kuat, dalam setiap
kisahnya selalu digambarkan heroik. Dari namanya sudah dapat digambarkan
watak/sifat, seperti Bima yang dalam bahasa sansekerta berarti
'mengerikan', Werkudara dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara
yang berarti 'perut serigala' dan Bimasena yang berarti 'panglima
perang'. Sifat yang melekat dalam tokoh ini adalah kejujuran, keluguan
dan kebersahajaan, seperti seorang yang menyadari sepenuhnya
kemanusiaannya.
Ir. Soekarno sangat mengagumi tokoh Bima dan
sempat mengidentifikasi dirinya mirip dengan tokoh Bima. Bima memiliki
sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta
menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak
pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab, menyadari diri sebagai manusia ciptaan Tuhan,
dengan menyadari diri sebagai manusia maka harus mampu pula memanusiakan
manusia. Menjadi manusia yang adil yang tentunya harus sadar bahwa diri
sebagai manusia, lalu adil terhadap diri, misalnya manusia itu pasti
akan merasa lapar, kalau lapar harus makan, lalu adil terhadap manusia
yang lain, memanusiakan manusia, berlaku sebagaimana 'tat twam asi'
kemudian adil terhadap Tuhan, menjalankan perintahNya menjauhi
laranganNya. Mencapai manusia yang beradab. Hanya dengan menyadari diri
sebagai manusia lah hal itu dapat terjadi.
Moral memiliki dasar
kemanusiaan, kemanusiaan akan tetap sama dimanapun dan kapanpun,
bergerak lurus, kejahatan terhadap kemanusiaan disuatu wilayah akan
menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan diseluruh belahan bumi manapun.
Disetiap pertunjukkan wayang kulit, dalang akan selalu mengatakan“Jalan Raden Bratasena (salah satu nama dari Werkudara) lurus dan mengikuti apa kehendaknya. Lompat Raden Bratasena sejauh penglihatan gajah. Cepat sebagai kilat.” Lalu gunungan dilewatkan berulang-ulang, diiringi 'suluk'
atau lagu yang membangkitkan kegeraman pendengarnya. Hal ini
menggambarkan lurusnya hati si tokoh dalam dunia wayang, tidak gentar
menggenggam kebenaran, amarah yang sangat manusiawi terhadap segala yang
rapuh dan goyah sebagaimana perlambangan munculnya Bratasena yang
diiringi angin ribut, pohon yang akarnya dalam, patah, dan yang tak
dalam tumbang. Demikianlah kemanusiaan, akan selalu bergerak lurus
dimanapun dan sampai kapanpun.
Sebagai panglima perang, Bimasena
adalah yang terdepan (selalu tampil digaris depan)~dalam perang
Baratayuda, Bimasena memimpin pasukan garis depan (bahkan benar-benar
didepan pasukannya) berjalan tanpa tunggangan, sekaligus memungkasi
perang tersebut dengan menepati janjinya untuk meremukkan paha
Duryudana.
Arjuna, tokoh ketiga dalam pandawa
yang akhir-akhir ini cukup populer, lebih dikenal dengan ketrampilan
memanah, lebih dari itu dalam wayang kulit kehadiran Arjuna selalu
dengan kepala merunduk, seperti halnya padi 'semakin berisi semakin
merunduk.'
Dalam wiracarita Mahabarata Arjuna digambarkan sebagai
sosok yang rupawan dan lemah lembut, memiliki sepuluh nama yang
masing-masing nama selain menggambarkan sifat/watak juga merupakan janji
sang Arjuna. Arjuna sendiri dalam bahasa sansekerta berarti "bersinar
terang", "putih", "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran". Memiliki beragam 'gegaman' dan 'kanuragan'.
Persatuan
Indonesia, tentunya dapat dirajut dengan kerukunan antar
kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, keadaan yang mana semua pihak
mulai membuka diri satu sama lain, mau menerima dan saling mengisi,
tidak sebaliknya dimana masing-masing pihak mulai menonjolkan diri
dengan ego ke'aku'annya. lebih dari itu, keadaan bersatu merupakan
senjata yang ampuh bagi Indonesia untuk menjawab tantangan jaman. Tidak
hanya mengandalkan keris, rencong ataupun kujang. Bukan hanya Jawa,
Aceh, Kalimantan ataupun Papua yang berada di garis depan, tapi
keseluruhan yang saling mengisi dalam persatuan.
Nakula,
merupakan putera Dewi Madri, dalam pewayangan Jawa Nakula memiliki nama
Pinten (tanaman yang daunnya dapat digunakan sebagai obat) dan merupakan
titisan Batara Aswin, dewa tabib.
Nakula mempunyai watak jujur,
setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan
rahasia. Mempunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, dimana
Nakula tidak akan pernah lupa tentang segala hal.
Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
merupakan hakikat dari demokrasinya Indonesia, rakyat yang berdaulat
mendelegasikan atau mempercayakan kekuasaannya untuk dijalankan oleh
wakil-wakilnya atas dasar musyawarah mufakat.
Sebagaimana
penggambaran watak tokoh Nakula, wakil rakyat sudah seharusnya jujur,
setia dan tahu membalas guna. Lebih lanjut, tidak mudah lupa kalaupun
tidak mampu untuk selalu ingat tentang segala hal.
Tokoh berikutnya adalah Sadewa
yang merupakan saudara kembar Nakula, tapi memiliki kelebihan dibanding
saudara kembarnya yaitu pandai dalam segala ilmu pengetahuan, terutama
disini tentang astronomi, peternakan dan pertanian, mampu memprediksi
(untuk tidak mengatakan meramal) kejadian yang akan datang.
Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, inilah yang menjadi cita-citanya
bangsa Indonesia ketika membangun sebuah negara yang bernama Republik
Indonesia, cita-cita dimana masyarakatnya hidup tidak dalam penghisapan
oleh yang lain, atau tidak dalam keadaan dibodohi oleh sebagian yang
lain, oleh karenanya ilmu pengetahuan adalah sangat penting dalam
membangun kesadaran berdaulat rakyat Indonesia.
Disamping itu,
tokoh Nakula dan Sadewa juga diceritakan memiliki loyalitas yang tinggi
terhadap Pandawa, tentu, rakyat akan semakin loyal terhadap negara
andaikata sila keempat terlaksana dengan baik bahkan sila kelima dapat
tercapai.
Demikian sedikit usaha saya dalam menggambarkan
sila-sila Pancasila lewat perwatakan tokoh wayang sekiranya memang untuk
kembali mengkampanyekan Pancasila, dan Pancasila sebagai gagasan yang
sekaligus cita-cita besar ini dapat terus dikaji dan senantiasa
diperkenalkan kepada tiap-tiap generasi.
Akhirnya dapat pula kita
renungi makna semboyan "Bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa":
berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua dan
semoga kebenaran datang dari segala arah. Merdeka.
sebagai lanjutan politicalzine Buletin Garis yang sebelumnya juga merupakan media informasi foto copyan
Anda Pengunjung ke:
Sabtu, 21 Januari 2012
Renungan Kerja
Akhir-akhir
ini saya sering mendapati keluhan orang, entah memang sengaja diceritakan atau
ketika mencuri dengar pembicaraan orang, keluhannya umum tapi ‘urgent’ yaitu masalah pekerjaan, saya
kata umum sebab inilah permasalahan pada umumnya orang-orang dan memang dari
jaman saya sekolah, kebingungan orang selalu saja berputar pada masalah
pencarian rejeki ataupun jodoh.
Dua
tema inilah yang kerap jadi persoalan yang sangat mungkin dibawa-bawa disetiap
do’a permohonan kepada Sang Pencipta. Semoga saja Tuhan tidak bosan mendengar
permohonan yang sebenarnya adalah urusan rahasia milikNya.
Terlepas
dari itu semua, pada dasarnya memang telah terjadi pendangkalan makna yang
bukan hanya menyangkut rejeki dan jodoh, tapi bahkan (mungkin) juga agama, atau
bahkan Tuhan pun telah didangkalkan? Iya atau tidak, kita bahas lain waktu,
harus ada kesiapan moral untuk menulisnya, cukuplah kini tentnag rejeki. Untuk
inipun harus didangkalkan dulu biar tidak terlalu ‘muluk-muluk’ atau “terlalu
idealis”.
Rejeki
menjadi dangkal maknanya ketika dibatasi lingkupnya, ketika faham materialism menyediakan
ruang sempit tentang orientasi finansial, dan rejeki berputar-putar pada
permasalahan kerja/pekerjaan, sedangkan kerja/pekerjaan sendiri juga telah
mengalami pendangkalan makna.
Hakikatnya
kerja memanglah untuk mencukupi kebutuhan hidup, manusia mengolah alam atau mengerjakan
alam untuk kemudian dapat mereka manfaatkan, contoh gampangnya ya bertani,
mengolah alam menjadi lahan pertanian yang hasilnya tentu untuk kebutuhan
makan. Lebih jauh dari itu. Pekerjaan, ialah kegiatan khas manusia yang
merupakan makhluk ganda yang aneh, disatu sisi sebagai makhluk alami
sebagaimana binatang yang membutuhkan alam untuk hidup sekaligus disisi lain
manusia dihadapkan dengan alam sebagai sesuatu yang asing~alam harus diolah
dulu, lebih dari itu harus menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya.
Bagi
Karl Marx, kerja/pekerjaan adalah suatu proses yang menghasilkan, lebih jauh,
berikut pandangan Marx tentang bagaimana pekerjaan membenarkan diri manusia dan
hakikat sosial manusia.
“Andaikata
kita berproduksi sebagai manusia (artinya, secara tidak terasing):
masing-masing dari kita dalam produksinya membenarkan diri sendiri dan sesama secara
ganda. Aku dalam produksiku mengobjektifkan individualitasku, kekhasanku, maka
waktu melakukan kegiatan kunikmati… dalam memandang objek, kegembiraan
individual bahwa aku mengetahui kepribadianku sebagai kekuatan objektif yang
dapat dilihat secara inderawi, tidak dapat diragukan. Dalam nikmatmu atau
pemakaianmu atas objekku aku langsung menikmati kesadaran bahwa dalam
pekerjaanku aku memenuhi kebutuhan sebagai manusia dan karena menciptakan objek
yang sesuai dengan kebutuhan manusia lain, aku menjadi perantara antara engkau
dan umat manusia, jadi bahwa aku dibenarkan dalam pikiranmu maupun dalam
cintamu, bahwa dalam ungkapan hidup individualku aku langsung menciptakan
ungkapan hidupmu, jadi bahwa dalam kegiatan individualku aku langsung
membenarkan dan merealisasikan hakikatku yang benar, kemanusiaanku,
kesosialanku”1
Marx
juga memandang bentuk keterasingan manusia dari pekerjaannya adalah ketika
manusia tidak memiliki hasil pekerjaannya tersebut, gambaran kasarnya sudah
terlalu banyak di Indonesia, sebagaimana buruh pabrik sepatu yang memproduksi
sepatu untuk kemudian dijual baik di negeri sendiri maupun di luar negeri
dengan merk tertentu yang ‘made in’ luar negeri. Atau produksi-produksi
lainnya, toh bangsa kita yang memproduksi tanpa ada “alih teknologi” (maaf sedikit
sartire). Manusia menjadi terasing
dari dirinya karena ia terasing dari pekerjaannya, makna pekerjaan disini jadi
semata untuk bertahan hidup, inilah bentuk keterasingan menurut Karl Marx, dimana
manusia sama sekali tergantung kepada para pemilik alat produksi, bahkan di
Indonesia banyak yang tergantung pada pemilik ‘brand’.
Dari
sini dapat dipahami pendangkalan makna rejeki yang hanya terbatas pada suatu
lingkup makna saja, yaitu orientasi finansial. Kiranya, kita pun tidak hanya
membatasi maknanya hanya sampai disitu. Ada cerita ketika saya berjualan buku
ke pesantren-pesantren di Singosari, bersama seorang teman senasib
seperjuangan, Wahyu Nugroho, suatu ketika ada pesanan buku lewat SMS dari
seorang ustad, tidak banyak, hanya dua judul dan karena masih berupa usaha
rintisan maka mau tidak mau harus diantar dua buku itu. Muncul kesadaran ketika
sedang ngobrol disebuah warung kopi di pasar Singosari, dimana memang laba dari
hasil penjualan dua judul buku tadi hanya cukup buat ongkos ngopi dan beberapa ‘gorengan’, tapi dari ‘jelajah pesantren’
ini pula kami mendapat banyak masukkan ilmu.
Lebih jauh lagi, tentang etos kerja yang
diajarkan dalam Islam, ada dua syarat yang menjadi ukuran bekerja dengan benar
dalam Islam: pertama, benar dari aspek niatnya dan kedua dari aspek
pelaksanaannya. Tentu, niat yang baik agar tidak menjadi beban bagi orang lain,
dan tentunya dengan cara yang baik pula, bukan dengan mencuri, merampok bahkan
korupsi.
Dalam pandangan Islam, ada dua masalah yang
perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pekerjaan (tahsilul amal). Pertama, pekerjaan itu disebut ‘amalan masru’ (pekerjaan yang dibenarkan oleh
syariat). Meskipun dilakukan dengan ikhlas, tetapi pekerjaan itu mencuri maka
tidak dianggap benar menurut syara’. Kedua, pekerjaan itu tidak sampai
mengganggu tugas-tugas yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat dan puasa.2
Dan bukankah
rejeki tak semata berupa materi? Dalam hal ini, sebagaimana kisah saya bersama
teman saya, ilmupun juga rejeki (ngg’perlu mondok untuk menyerap ilmu dari para
ustad, dan untuk hal ini saya wajib bersyukur). Lebih dari itu, senantiasa
untuk diusahakan memaknai kerja sebagai ibadah, kerja bukan untuk siapapun dan
bukan untuk apapun melainkan untuk Allah. Pun juga ada baiknya untuk tidak
memanfaatkan hal ini demi mengkerdilkan atau bahkan menelikung pekerja,
misalnya ketika suatu perusahaan tidak mau membayar upah lebih kepada
pekerjanya, perusahaan menyarankan pekerjanya untuk mensyukuri apa yang telah
mereka peroleh.
Sebagaimana yang dikatakan dalam
Al-Quran: Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup,
dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi
rezeki kepadanya. (QS. al-Hijr
(15) : 20)
(1)
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2001) hlm. 94
(2)
M. Ainul Yaqin, Nilai-nilai Ibadah Dalam Bekerja
(Malang: Buletin Imamah edisi: XV/Shafar/1433 H.)
(3)
Al Quran, Surah Al-Hijr (15):20
Langganan:
Postingan (Atom)